Senin, 19 September 2011

ENZIM

Zai-Pharmacan -- Bioregulator (biokatalisator) adalah katalisator yang bekerja terhadap proses-proses dari suatu sistem kehidupan. Bioregulator yang terpenting yaitu Enzim, Vitamin, Mineral, dan Hormon.

A. ENZIM

Enzim (fermen) adalah senyawa-senyawa organik, umumnya merupakan protein yang dapat mengakibatkan atau mempercepat reaksi biokimia berdasarkan proses katalisa. Enzim ini hanya bekerja sebagai katalisator organik terhadap reaksi-reaksi dari substrat spesifik. Kegiatan enzim sangat tergantung pada faktor suhu, derajat keasaman (pH), dan konsentrasi ion-ion.
Nama dari enzim biasanya dibentuk dari nama substrat atau nama reaksi yang dipercepatnya dengan menambahkan akhiran 'ase'.
Contoh :
  1. Enzim Urease : Enzim pengurai urea 
  2. Enzim Protease : Enzim pengurai protein
  3. Enzim Lipase : Enzim pengurai lemak (lipid)
  4. Enzim Reduktase : Enzim yang mempercepat proses reduksi
  5. Enzim Hidrolase : Enzim yang mempercepat proses hidrolisi

    1). Penghasil Enzim

    Enzim dihasilkan oleh:
    • Mikroorganisme (bakteri atau jamur), misalnya lipase, amilase, streptokinase, penisilinase, dll.
    • Tumbuh-tumbuhan, dimana zat-zat ini dipisahkan dan kadang-kadang dalam bentuk kristal, misalnya Papase (dari Carica papaya) dan Bromelin (dari Annanas sativum). 
    Berdasarkan senyawa atau gugusan yang terkandung di dalam enzim, maka enzim dapat tersusun atas: 
    • Gugus Protein (Apo-enzim) 
    • Gugus non-protein (gugusan prostetik atau co-enzim). Kelompok ini berperan dalam metabolisme sel-sel tubuh. 

    2). Fungsi Enzim

    Enzim-enzim berfungsi terutama untuk:
    • Proses pencernaan dengan menguraikan lemak, protein, dan karbohidrat .
    • Reaksi-reaksi dengan berkaitan dengan proses pernapasan
    • Efek-efek dari vitamin berhubungan atau berkenaan dengan kerja dari enzim-enzim. Misalnya, defisiensi dari vitamin sebenarnya merupakan kekurangan enzim.
    • Memelihara keseimbangan hormon-hormon dengan sintesis hormon atau penguraian hormon yang berlebihan dengan antagonisnya. Misalnya, kelebihan insulin diuraikan oleh insulinase; kumulasi hormon nor-adrenalin atau asetilkolin pada organ-organ ujung diuraikan oleh MAO dan kolinesterase.
    • Melindungi jaringan tubuh terhadap efek-efek enzim yang dihasilkannya. Misalnya zat perintang tripsin dapat meniadakan kelebihan tripsin.

    3). Kegunaan Enzim
    Kegunaan enzim antara lain :
    • Sebagai penolong dalam pencernaan
    • Membersihkan dan menyembuhkan luka-luka dengan cara mencerna secara selektif jaringan-jaringan yang mati tanpa merusak jaringan yang sehat, termasuk juga melindungi saluran darah yang mengelilingi luka tersebut.
    • Menghilangkan radang atau bengkak yang berguna pada pengobatan luka-luka. Berdasarkan efek antiradang (antiinflamatory enzim), misalnya papase, protease, amylase, seropeptidase, streptokinase, dan lain-lain.
    • Sebagai antikoagulansia, yaitu menguraikan molekul-molekul fibrin yang menyebabkan pembekuan darah dan gumpalan-gumpalan darah pada pengobatan thrombosis dan tromboflebitis, misalnya Strptokinase.
    • Sebagai pembantu dalam diagnose (diagnostic enzim) 

      1. Glukosa Oksidase : Untuk menentukan kadar glukosa dalam urin pada penderita Diabetes Mellitus (DM) 
      2. Uricase : Untuk menentukan kadar asam urat dalam darah, antara lain pada gangguan ginjal, encok, dan lain-lain. 
      3. Analisis kadar enzim Laktat Dehidrogenase dalam serum darah, menunjukkan adanya jaringan yang mati di suatu tempat pada tubuh karena kekurangan darah, antara lain karena adanya penyakit kanker atau thrombosis koroner.
    4). Enzim-enzim Penting 
    • Enzim-enzim pancreas dan pepsin
    • Bromelin atau Ananase 
    • Merupakan enzim Protease dari Ananas sativum yang berkhasiat sebagai antiradang.
    • Papase atau Prolase
    • Merupakan enzim proteolitik yang didapatkan dari Carica papaya yang berkhasiat sebagai penghilang bengak-bengkak. 
    • Streptokinase dan Strptodornase
    • Merupakan enzim yang diperoleh dari bakteri Strptococcus haemolyticus. Strptokinase terutama bersifat fibrinolitik yang dapat menguraikan benang-benang fibrin, mengencerkan, serta melarutkan nanah yang kental dan darah yang beku. Enzim ini mempertinggi efek penggunaan antibiotika, dan digunakan pada pengobatan thrombosis koroner (infark jantung) dan menyembuhkan infeksi bernanah.
    • Fibrinolisin
    • Enzim ini diperoleh dari hasil penguraian enzim Strptokinase terhadap profibrinolisis atau plasminogen yang inaktif yang diperoleh dari plasma darah manusia.

    Sabtu, 03 September 2011

    Cinta!!!

    Cinta datang dengan baranya
    menyelip-nyelip di antara cerita
    saat ku tahu cinta itu memang buta
    buta, bahkan tanpa kacamata

    Cinta pergi dengan lonjakan hati
    meronta-ronta di pagi hari
    saat aku terbangunkan oleh mimpi
    mimpi, tanpa warna pelangi

    Tapi aku pun tahu
    cinta tak mudah begitu saja datang dan pergi
    tetaplah jadi pengisi haru
    haru saat kumeratapi sunyinya hari

    Aku ingin cinta
    cinta yang tetap suci dalam debu
    cinta yang selalu ada
    walau ragaku kan beku
    di kujur liangNya

    Aku tak ingin cinta
    cinta yang menyelimuti selalu
    dengan kebenciannya
    kegarangan dan dendam yang membisu

    Cinta
    Genggam aku
    Erat!!
    (Zai,
    Cintaku)
    Juli, 2009

    Gerhana Cinta

    Cerita ini kian memadam
    Ditapis gerhana bulan bermuka muram
    Suara serindai kini tak lagi terekam
    Semua diam
    ***
    Pelan-pelan mencoba piara
    Dua insan agar tak termakan umbra
    Cepat-cepat mencoba tak jera
    Mengusap gerhana pada mestika
    ***
    Agar dia tak buta
    Cinta yang nyata
    Adanya dalam jiwa
    Tak kubiarkan sirna
    ***
    Namun
    Kini hanya melamun

    (Zai,
    Gerhana Cinta Luka)
    April, 2009

    Rindu yang Terpenjara

    Segumpal hasrat mengepul memayungi
    Hati kecil yang sendiri
    Mengikis pahitnya racun dalam duri
    Lampiaskan semua jua tak sampai
    ***
    Perbedaan ini adanya
    Menambah rintang tuk bersua
    Waktu
    Kau mampu saat kutak bisa
    Aku juga
    ***
    Perbedaan ini hampir abadi bersemu
    Menyisir helai mimpi tentangmu
    Dimana?
    Kau ada ketika ragaku tak beradu
    Aku juga begitu

    ***

    Rindu ini makin menggurat
    Jelas tertapak sampai sarat
    ***
    Tuhan, Kau Maha Adil
    Rantai ini lepaskan
    Jeruji ini hancurkan
    Hasrat ini kabulkan
    ***
    Ku ingin
    Dapat berebut angin
    Denganmu
    Disaat kesuma merekah

    (Zai,
    Kerinduan yang Agung)
    April, 2009

    Kerengsaan Cinta

    Bila cinta mulai terkapar
    Beri kekuatan agar dia segar
    Sirami dia dengan ruh yang menawar
    Terangi dia dengan cahya yang membinar
    Agar rengsa tak lagi menjalar
    ***
    Bila cinta mulai senja
    Di pucuk tombak yang renta
    Dia lemah tak berdaya
    Luka, duka, lara yang merana
    Kan jadi kawan di masa kelana
    ***
    Ikat dia dengan keyakinan
    Basuh dia dengan harapan
    Janjikan dia mimpi yang menawan
    Meski ulur tangan tak raih awan
    Surga tetaplah jadi idaman
    ***
    Bagi rengsanya cinta...

    (Zai,
    Lemah)
    April, 2010

    Masih Disini

    Masih disini sengaja merangkai sunyi
    Coba kerlipkan bintang yang pasi
    ***
    Masih disini kukuh dalam pejam
    Tuk merajut mimpi yang karam
    ***
    Masih disini mencari mustika
    Dengkur bukan lagi sengaja mengejar mutiara

    (Zai,
    Kesungguhan Sebuah Harapan)
    April, 2010

    Gangsi Palsu

    Mengukup waktu terlambat sudah
    Meski harum semerbak dalam tadah
    Bahu orang takkan merebah
    Terangkat tak mengerti dalam gundah
    ***
    Menyumbat hidung tak terpungkiri
    Menggurah mulut tetaplah dusta
    Kantongmu terlalu kecil demi kecilnya bangkai
    Kutahu kau pengecut cinta


    (Zai,
    Persembunyian Sang Pengecut)
    April, 2009

    Denganmu

    Teduh relung jiwa
    Retas ngilu ini setelah lara
    Rasakan kemilau intan ditimpa Surya
    Menempa luka oleh berlian cinta
    ***
    Kau ikat relung jiwa dengan seuntai mimpi
    Kau tampis kengiluan yang merantai hati
    Hangatmu masih berapi
    Cintamu
    Muarakan nganga perih menelan brendi


    (Zai,
    Kuncak Gani Cinta Abadi)
    Juni, 2009

    Pita Biru

    Pita biru untuk lubuknya hati
    Mungil, tampiskan ego insani
    Halaulah picik berselimut badai
    Sirnakan kelabu Sang Mega pagi
    ***
    Bila kau ingat
    Engkau
    Sengaja datang berandai-andai
    Kurnia berdiri di kujur tengadah dirimu
    Sengaja pergi tanpa harga diri
    Gelakan tawamu peroleh sesaat hasratmu
    ***
    Pita Biru
    Kubawakan untuk egomu
    Untuk Kau
    Busungkan dadamu
    Biar kusemat padanya
    Harapkan lidahmu kunjung ungkapkan
    Setidaknya pada Yang Esa
    Sadar diri tuk kembalikan

    (Zai,
    Terima kasih, Perubahan)
    Juni, 2010

    Pekik Cinta

    Tangis bukan mimpi di mata
    Asam kau anggap manis yang terasa
    Saat kau harus terpedaya cinta
    Bukan dusta bila harus melunta
    ***
    Kembali kau rengkuh
    Dalam karut yang sungguh
    Terkoar-koar pekik isakmu
    Terangkai indah katamu dalam semu
    ***
    Kembali kau raup
    Duka nestapa saat surup
    Nalarmu lumpuh laun meredup
    Sejak embun pertama kau gugup
    “Dengan cintakah kuharus hidup?”


    (Zai,
    Nestapa rona lembayung)
    Juli, 2009

    Harapku Pada-MU

    Ya Allah
    Jadikan cinta ini indah dalam hidupku
    Berikan hati ini ketabahan dalam mengiringi hidupnya
    Meski kutak pernah tahu apakah sebentar lagi, nanti, atau besok akhir hidupku
    Tapi izinkan aku menyayanginya sampai mataku terkatup olehMu
    ***
    Ya Allah
    Mungkin aku bukanlah seseorang yang dia tunggu
    Tak banyak kata terucap padaku
    Tapi dengan hati yang kukuh aku percaya
    Ada aku di hatinya
    ***
    Ya Allah
    Maafkan aku bila tak mampu meyakinkannya dengan cintaku
    Bantu aku membuatnya percaya bahwa memang benar kumenyayanginya
    Berikanku batas untuk mebedakanku dengan yang lain
    Hingga kubisa menjadi diriku sendiri
    Untuk mencintainya
    ***
    Ya Allah
    Mengingatnya selalu menyenangkan
    Merindunya membuat hatiku bergetar
    Menyakitinya membuatku sakit
    Melupakannya membuatMu murka kepadaku
    Maka jagalah aku bersamanya
    Biar kutak lepas langkah dalam sanubari
    Sekokoh iman kan jadi perisai

    ***

    Ya Allah
    Kumenemukan sesuatu yang menguatkanku darinya
    Meski ku sedikit bimbang ketika ia sedikit meragukanku
    Hanya padamu aku mengadu
    Akan kesungguhan tekadku untuk bersamanya
    ***
    Cinta
    Lihat sorot air mataku
    Tampakkah kebohongan di sana?
    Tidak bukan?
    Kutak seperti itu
    Karena memang kau satunya
    Yang hidup dalam hatiku . . .


    (Zai,
    Kesungguhanku)
    Februari, 2010

    Tak Lagi

    Dulu ada segelintir cerita yang mewangi dalam hatiku
    Menenggelamkanku, membawaku dalam hangatnya kehidupan
    Dulu semua terasa segar dalam benakku
    Mengibaskan duka, lara, penat, dan pedih yang merona
    Dulu semua begitu membuatku damai
    Menorehkan harapan dan impian yang selalu kuidamkan
    Dulu kau begitu sayang padaku
    Bahkan ketika aku beranjak dewasa
    Dan ketika kau merasa kutak menyayangimu lagi
    Berbicara dulu membuatku sedikit jera
    Dilanda kepiluan yang memaku kokohnya hatiku
    Kini tinggal bayang kelam tanpa hati
    Ketika aku sadar, kini bukan dulu lagi


    (Zai,
    Kau Telah Berbeda)
    April, 2010

    Tanpa Daya

    Ketika kau butuh
    Aku tak hadirkan diri
    Ketika kau ingin
    Aku tak berikan tingkahku
    ***
    Siapa aku ini?
    Aku sangat menyayangmu
    Tetapi kutak punyai daya
    Mungkin kau tak sayangiku
    Tetapi kutak punyai daya

    ***
    Tak mampu kuucap lara
    Tak mampu kudengar jeritanmu
    Tak mampu kulukis semangatmu
    Tak mampu aku menyakitimu
    ***
    Sayang
    Aku disini selalu bagimu
    Bahkan ketika kau tak butuh
    Aku disni selalu berharap
    Bahkan ketika kau lelap tanpa mimpi
    ***
    Maafkan aku
    Mungkin aku memang hina
    Hingga kutak punyai daya apa
    Untukmu

    (Zai,
    Engkau Terlalu Indah)
    April, 2010

    Kau Kembali

    Paras itu datang
    Membawakan kasih yang pernah terasa
    Hati itu kembali
    Melengkapi khayalku yang hampir mati
    ***
    Kumohon jangan pergi lagi
    Biarkan aku menemani ragamu
    Mencium kasihmu yang tak mampu kuartikan
    Memanjakanmu dengan kangenku
    Menggenggammu dengan tali hati
    Membawamu ke dunia yang nyata
    Hingga kuharus mengatupkan mimpi
    Ketika Tuhan turunkan Izrail
    ***
    Kumohon
    Tetaplah disini
    Mengisi hati yang telah pasi
    Mengurai mimpiku akan kehadiranmu


    (Zai,
    Harapanku Saat Kau Disini)
    Maret,, 2010

    Resah

    Singsing wajah garangmu
    Katupkan koar berangmu yang menghardik
    Buang pelototanmu
    Kibaskan benci yang merantai
    ***
    Maafkanku karena cintaku
    Mungkin tak tawarkan damai buatmu
    Jangan kau ikat aku dengan kebencian
    Karena aku mati tanpa ceritamu
    ***
    Datanglah! Biarkan kucari makna
    Arti hadir diriku
    Dalam kesekian mimpi indahmu
    Jadi jangan diamkan aku

    (Zai,
    Cinta Sedang Berang)
    Februari, 2010

    Merindumu

    Ingatanku tak lepaskan sekelebat cahyamu
    Merajut mimpi yang membaur dalam jiwa
    ***
    Ingatanku tak membiarkan bayangmu enyah
    Menyibak sejuta rindu yang tersendam
    ***
    Ingatanku membuatku terikat satu denganmu
    Karena kau wahana rindu yang mencurah

    (Zai,
    Untuk cinta yang merindu)

    Februari, 2010

    Kesenyapan Seorang Insan

    Mencari mentika di antara cinta dan kasih
    Melemparkan lirikan pada hati yang menyusuriku
    Memendam hasrat yang sebenarnya ingin
    Tapi Tuhan tak beriku daya untuk pertingkah
    Membiarkanku terkubur dalam hasrat yang mencekam

    ***

    Cinta… Cinta… Cinta…
    Dulu kau datang lalu kemudian kau pergi
    Membekaskan rindu lalu nestapa melara
    Senyum yang pesti lalu duka yang mengharu
    Menemaniku lalu kau pergi tak acuhkanku lagi
    Tinggal aku yang menyepi

    ***

    Sinarmu telah pergi
    Tapi mentikaku masih bersatu
    Biarlah kuterkubur dalam rindu
    Memasrahkan diri pada Cinta Pertamaku
    Kembali pada-Nya mendebur tangis tanpa jeda

    (Zai,
    Kesendirian Padma)
    Januari, 2010

    Kamis, 01 September 2011

    Rindu Kasih Ayah


     Memiliki orang tua yang sayang pada putra-putrinya sudah barang menjadi idaman seorang anak. Bahkan sudah menjadi kodrat dari orang tua untuk dapat menghadirkan selimut kasih sayangnya pada buah hati mereka. Ya, itu sudah menjadi hukum yang tak akan terbantah oleh siapapun juga. Namun, apalah jadinya bila seorang ayah tak pernah lagi memberikan kasih sayangnya? Entah karena disengaja maupun tidak, ataukah sebatas lelah dan butuh masa pengembalian energi sehingga hal itu terjadi. Apa jadinya?
    Mungkin hal itu sedikit mengglobal juga. Refleksi dari sebuah otot-otot, logika menghakimi segala perdaya, kepalan dan hentakan menjadi perisai, menjadikan watak seorang lelaki yang kusebut “ayah” itu setingkat lebih garang daripada seorang ibu. Kemudian dengan seenaknya, ataukah memang sudah kodratnya juga, memarahi dan memberikan apa yang tak sepantasnya anak dapatkan. Ya, seperti itu juga polemik dari seorang ayah, meskipun itu tak menjadi mutlak ketika salah seorang anak mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
    Ah, kasih sayang! Makanan rasa coklat dengan sedikit manis dan mengenyangkan. Kapan aku mengicipinya? “Sedikit sajalah!” Kadang aku menggerutu sendiri. Menyalahkan keadaan atau sekadar mengomel sendiri. Dimanakah garis-garis kasih sayang dari ayah yang sudah digariskan Tuhan untuk anaknya? Ataukah mungkin Tuhan lupa posisiku sehingga garis itu tak sampai padaku? Masak ‘sih Tuhan kehabisan pensil? Ah, bodohnya aku! Semua mimpi tentang ‘Taman Orang-Orang Perindu Hati’ terus menghantuiku. Otakku telah sarat dijejali material rindu dan kangen akan kasih sayang itu. Tuhan, bangunkanlah aku dan tawarkan aku sebuah pengabulanmu.
    “Ibu, kapan ya Ayah belikanku sepatu?” desahku menyambut tangan ibu sesaat setelah aku pulang dari sekolahku, pukul 8 malam. Sebuah rutinitas yang memaksaku menenggak habis waktuku di sekolah, biar kutak memikirkan rumah, atau mungkin mempermainkanku biar kurindukan rumah.
    Ibu hanya tersenyum kecil. Gurat-gurat senjanya terlihat begitu jelas menapak di dahinya. Terbayangkan betapa lelahnya ia mengasihiku. Dielus-elusnya rambutku, dan menyuruhku makan lalu mengambil jatah di kasur atau sekadar berbaring mengurai penat.
    Deg!! Masih kuingat ketika ayah berkata aku tak bisa berhemat sepatu. Ah, bagaimana mungkin sepatu bisa dihemat? Akukah yang terlalu bodoh memanjakan waktu biar ia memamah habis sepatuku? Apakah mungkin aku dengan sengaja melubangi sepatuku biar mendapatkan mode yang baru? Ah, sungguh! Ini semua tak cukup membuat jiwaku afiat. Terbunuh sudah akal sehatku hanya berharap ayah dapat menyayangiku dengan tulus. Mengapa hanya meminta dibelikan sepatu saja harus kena marah yang menghujam? Terus dan terus kupakai hingga wujudnya usang tiada sedap dipandang lagi.
    “Yah, Zai pamit dulu ya!” kumerunduk tak sedikit berani memandang tajam tatapannya. Kubalut dengan sedikit harapan pagi ini ayah memberikan perhatiannya. Sedikit saja katakan, “Hati-hati ya, Nak!”
    “Ingat ya, kepalamu siap kupenggal kalau ayah tahu kamu pulang malam hanya untuk hura-hura!” jawab kecunya melontar kepadaku. Kubalas dengan anggukan. Berharap ia mampu menerjemahkan anggukan kecil itu.
    Gumamku mengisi hati kecil ini. Itukah wujud sayangmu untukku, Ayah? Satu semester kau biarkan sakuku kering. Bagaimana bisa kau bilang aku berhura-hura? Perlukah aku mengemis di tepian jalan berharap segepok receh masuk ke saku kumalku? Tolong ayah, mengertilah. Aku sudah cukup dewasa untuk ini. Aku tahu harus menempatkan diriku dimana. Tak ada jurusan ‘pertongkrongan’ bagiku. Aku hanya ingin kau tahu. Tangisku bergeliat tak karuan dalam hati. Di rumah serasa hanya untuk mampir tidur kemudian pergi tak tahu rumah lagi. Kadang kalau aku malas pulang, kuteguk secangkir malam di kaki langit untuk memoles kepenatan ini dengan seutas cahaya dari langit. Mencoba berkhayal aku sedang kau manjakan dengan binar bulan yang terasa hangat berapi-api seperti ketika aku masih kau ayun-ayun dahulu itu.
    “Pulanglah! Ayah menunggumu!”
    Terkadang aku merasa ini bukan duniaku. Selamanya aku kan merasa tak pernah berkecukupan. Kasih sayang seorang kekasih, tak ada samanya dengan kasih sayang seorang ayah. Ia yang membuatku ‘ada’, sedangkan Meiya hanya sekadar membuat aku merasa ‘berada’. Meiya begitu sayang padaku. Mungkin ayahku juga. Tapi tak tahu hilang kemanakah rupa dari konsep khayalku itu. Kemanakah aku harus mengadu semua ini?
    “Aku jenuh dengan semua ini!” gerutuku menahan tangis dalam diri. Kubiarkan saja kengiluan dalam dada ini terus bergeliat. Namun kuputuskan untuk mengantarkan Meiya pulang dahulu, barulah aku pulang.
    Waktu menuntunku menuju persinggahan duniaku. Sesekali kutengok kiri-kanan jalan untuk mencari sekelebat angin kecil yang mungkin bisa menepiskan rasa sesak padat ini. Sesekali juga wajah ayah melintas dalam kekaburan malamku. Kujamah, kemudian ia hilang menelusup malam yang terasa dingin memeluk raga. Ah, sia-sia saja. Namun kutak peduli. Kukibas-kibaskan kepalaku biar kantuk juga tak merajaiku. Traumaku masih berapi-api oleh kecelakaanku tiga tahun yang lalu yang menelan tulang hasta tangan kananku, karena kumengantuk. Hmmm, terbayangkan nanti aku bisa berbaring lega di atas peraduanku mengingat besok tak ada ulangan, PR, maupun praktikum resep. Kuhela napas lega.
    “Anak sial!”
    “Plaaaaak!”
    Kemerintih kesakitan, menahan geram dan rasa kalut yang sungguh, sembari memegangi pipi kananku yang memadam merah. Ekor mataku bertebaran menyusuri pelototan mata ayah yang teramat sadis dan bengis. Ingin rasanya aku melawan, tapi kuingat aku hanyalah bagian kecil dari hidupnya.
    “Untuk apa sekolah kalau cuma pulang malam seperti ini terus!!”
    Terpejam mataku seketika juga. Mana? Lhoh? Tak kena! Kusaksikan Ibu menahan lengan kanan ayah dari belakang. Rupanya lengan itu hendak berayun ke wajahku, mendaratkan tamparan yang mungkin kan terasa tak mengenakkan.
    “Lepaskan, Bu! Lepaskan!” teriakku, “Untuk apa aku hidup kalau tak pernah disayang sama Ayah? Biarkan saja Ayah menamparku! Biarkan!” tangisku tempiaskan seluruh dayaku untuk katakan itu.
    Ayah hanya tertegun. Cengang malam mencekam keheningan jiwaku. Kutak peduli lagi dengan semua ini.
    “Tampar saja aku, Yah! Ambil parangmu, asah yang tajam. Biar saja aku mati tanpa kasih sayangmu! Aku pulang malam, karena kuselalu termenung meratapi Ayah yang terasa asing buatku! Malas rasanya aku pulang. Sekarang, bunuh sajalah aku!!”
    Deg.. Deg.. Semua serasa berhenti. Waktu. Aliran darahku juga serasa beku. Ayah yang tadinya garang, kini tak lagi. Aku beranjak menuju Ibu, kupeluknya dengan erat. Kudekatkan suara batinku.
    “Bu...” suara lirihku menyampaikan desah hatiku. Mungkin masih bisa terdengar, atau mungkin juga tak sampai ke telinga ibu. Lalu kulepaskan pelukan ibu, pergilah aku meninggalkan malam di hunian duniaku itu.
    “Mau kemana?” bentakan ayah menghalangi langkah gontaiku.
    “Tak usah pikirkan Zai, apalah artinya anakmu yang tak kau anggap ini!”
    Seperti mimpi aku bisa berkata demikian. Seperti khayal aku bisa berucap itu pada Ayahku sendiri. Namun tak akan pernah kuasa kumenyimpannya rapat-rapat dalam hati. Biar sajalah aku merana. Merindukan kasih sayang seorang ayah yang tak bisa kuuraikan.
    Dengan perasaan gelisahku, aku bergegas pergi tuk menenangkan hatiku. Handphone kumatikan, biar saja aku beradu dalam diri. Meiya pun tak kuberi kabar. Biar saja aku sendiri dalam pekat malam yang mengikat jerit nuraniku.
    “Ayah, Zai sayang sekali pada Ayah!” suaraku tersengal-sengal dibarengi derai air mata yang membumi. Maafkanlah aku yang tak mampu menjadi bagian hidupmu dengan sempurna. Inilah aku, Yah. Aku anakmu, yang dititipkan Tuhan kepadamu. Kalaupun aku bukan titipanNya padamu, biarkan saja aku berlari dalam sendiriku. Aku tak akan pernah berharap sosok ayah yang lebih baik darimu. Karena bagiku, engkaulah yang terbaik di hatiku. Karenamu, aku bisa sebesar ini.

    Sendiri tanpa serinai
    Kelebat senja tak hadirkan, pengabulan atas rindu kasih
    Mestika tanpa wahana
    Cerita Tuhan belum menyata, bumi Ayahanda untuk daku
    Bocah dalam prahara
    Masih menunggunya mengawankan jiwa kering ini
    Hadirlah...
    (Zai : Rindu kasihmu, Ayah!)

    (Kirimanku, di Harian Minggu Pagi) 
    Minggu Pagi No. 31 TH 63 Minggu V Oktober 2010
     
    Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management