Kamis, 01 September 2011

Rindu Kasih Ayah


 Memiliki orang tua yang sayang pada putra-putrinya sudah barang menjadi idaman seorang anak. Bahkan sudah menjadi kodrat dari orang tua untuk dapat menghadirkan selimut kasih sayangnya pada buah hati mereka. Ya, itu sudah menjadi hukum yang tak akan terbantah oleh siapapun juga. Namun, apalah jadinya bila seorang ayah tak pernah lagi memberikan kasih sayangnya? Entah karena disengaja maupun tidak, ataukah sebatas lelah dan butuh masa pengembalian energi sehingga hal itu terjadi. Apa jadinya?
Mungkin hal itu sedikit mengglobal juga. Refleksi dari sebuah otot-otot, logika menghakimi segala perdaya, kepalan dan hentakan menjadi perisai, menjadikan watak seorang lelaki yang kusebut “ayah” itu setingkat lebih garang daripada seorang ibu. Kemudian dengan seenaknya, ataukah memang sudah kodratnya juga, memarahi dan memberikan apa yang tak sepantasnya anak dapatkan. Ya, seperti itu juga polemik dari seorang ayah, meskipun itu tak menjadi mutlak ketika salah seorang anak mendapatkan kasih sayang seorang ayah.
Ah, kasih sayang! Makanan rasa coklat dengan sedikit manis dan mengenyangkan. Kapan aku mengicipinya? “Sedikit sajalah!” Kadang aku menggerutu sendiri. Menyalahkan keadaan atau sekadar mengomel sendiri. Dimanakah garis-garis kasih sayang dari ayah yang sudah digariskan Tuhan untuk anaknya? Ataukah mungkin Tuhan lupa posisiku sehingga garis itu tak sampai padaku? Masak ‘sih Tuhan kehabisan pensil? Ah, bodohnya aku! Semua mimpi tentang ‘Taman Orang-Orang Perindu Hati’ terus menghantuiku. Otakku telah sarat dijejali material rindu dan kangen akan kasih sayang itu. Tuhan, bangunkanlah aku dan tawarkan aku sebuah pengabulanmu.
“Ibu, kapan ya Ayah belikanku sepatu?” desahku menyambut tangan ibu sesaat setelah aku pulang dari sekolahku, pukul 8 malam. Sebuah rutinitas yang memaksaku menenggak habis waktuku di sekolah, biar kutak memikirkan rumah, atau mungkin mempermainkanku biar kurindukan rumah.
Ibu hanya tersenyum kecil. Gurat-gurat senjanya terlihat begitu jelas menapak di dahinya. Terbayangkan betapa lelahnya ia mengasihiku. Dielus-elusnya rambutku, dan menyuruhku makan lalu mengambil jatah di kasur atau sekadar berbaring mengurai penat.
Deg!! Masih kuingat ketika ayah berkata aku tak bisa berhemat sepatu. Ah, bagaimana mungkin sepatu bisa dihemat? Akukah yang terlalu bodoh memanjakan waktu biar ia memamah habis sepatuku? Apakah mungkin aku dengan sengaja melubangi sepatuku biar mendapatkan mode yang baru? Ah, sungguh! Ini semua tak cukup membuat jiwaku afiat. Terbunuh sudah akal sehatku hanya berharap ayah dapat menyayangiku dengan tulus. Mengapa hanya meminta dibelikan sepatu saja harus kena marah yang menghujam? Terus dan terus kupakai hingga wujudnya usang tiada sedap dipandang lagi.
“Yah, Zai pamit dulu ya!” kumerunduk tak sedikit berani memandang tajam tatapannya. Kubalut dengan sedikit harapan pagi ini ayah memberikan perhatiannya. Sedikit saja katakan, “Hati-hati ya, Nak!”
“Ingat ya, kepalamu siap kupenggal kalau ayah tahu kamu pulang malam hanya untuk hura-hura!” jawab kecunya melontar kepadaku. Kubalas dengan anggukan. Berharap ia mampu menerjemahkan anggukan kecil itu.
Gumamku mengisi hati kecil ini. Itukah wujud sayangmu untukku, Ayah? Satu semester kau biarkan sakuku kering. Bagaimana bisa kau bilang aku berhura-hura? Perlukah aku mengemis di tepian jalan berharap segepok receh masuk ke saku kumalku? Tolong ayah, mengertilah. Aku sudah cukup dewasa untuk ini. Aku tahu harus menempatkan diriku dimana. Tak ada jurusan ‘pertongkrongan’ bagiku. Aku hanya ingin kau tahu. Tangisku bergeliat tak karuan dalam hati. Di rumah serasa hanya untuk mampir tidur kemudian pergi tak tahu rumah lagi. Kadang kalau aku malas pulang, kuteguk secangkir malam di kaki langit untuk memoles kepenatan ini dengan seutas cahaya dari langit. Mencoba berkhayal aku sedang kau manjakan dengan binar bulan yang terasa hangat berapi-api seperti ketika aku masih kau ayun-ayun dahulu itu.
“Pulanglah! Ayah menunggumu!”
Terkadang aku merasa ini bukan duniaku. Selamanya aku kan merasa tak pernah berkecukupan. Kasih sayang seorang kekasih, tak ada samanya dengan kasih sayang seorang ayah. Ia yang membuatku ‘ada’, sedangkan Meiya hanya sekadar membuat aku merasa ‘berada’. Meiya begitu sayang padaku. Mungkin ayahku juga. Tapi tak tahu hilang kemanakah rupa dari konsep khayalku itu. Kemanakah aku harus mengadu semua ini?
“Aku jenuh dengan semua ini!” gerutuku menahan tangis dalam diri. Kubiarkan saja kengiluan dalam dada ini terus bergeliat. Namun kuputuskan untuk mengantarkan Meiya pulang dahulu, barulah aku pulang.
Waktu menuntunku menuju persinggahan duniaku. Sesekali kutengok kiri-kanan jalan untuk mencari sekelebat angin kecil yang mungkin bisa menepiskan rasa sesak padat ini. Sesekali juga wajah ayah melintas dalam kekaburan malamku. Kujamah, kemudian ia hilang menelusup malam yang terasa dingin memeluk raga. Ah, sia-sia saja. Namun kutak peduli. Kukibas-kibaskan kepalaku biar kantuk juga tak merajaiku. Traumaku masih berapi-api oleh kecelakaanku tiga tahun yang lalu yang menelan tulang hasta tangan kananku, karena kumengantuk. Hmmm, terbayangkan nanti aku bisa berbaring lega di atas peraduanku mengingat besok tak ada ulangan, PR, maupun praktikum resep. Kuhela napas lega.
“Anak sial!”
“Plaaaaak!”
Kemerintih kesakitan, menahan geram dan rasa kalut yang sungguh, sembari memegangi pipi kananku yang memadam merah. Ekor mataku bertebaran menyusuri pelototan mata ayah yang teramat sadis dan bengis. Ingin rasanya aku melawan, tapi kuingat aku hanyalah bagian kecil dari hidupnya.
“Untuk apa sekolah kalau cuma pulang malam seperti ini terus!!”
Terpejam mataku seketika juga. Mana? Lhoh? Tak kena! Kusaksikan Ibu menahan lengan kanan ayah dari belakang. Rupanya lengan itu hendak berayun ke wajahku, mendaratkan tamparan yang mungkin kan terasa tak mengenakkan.
“Lepaskan, Bu! Lepaskan!” teriakku, “Untuk apa aku hidup kalau tak pernah disayang sama Ayah? Biarkan saja Ayah menamparku! Biarkan!” tangisku tempiaskan seluruh dayaku untuk katakan itu.
Ayah hanya tertegun. Cengang malam mencekam keheningan jiwaku. Kutak peduli lagi dengan semua ini.
“Tampar saja aku, Yah! Ambil parangmu, asah yang tajam. Biar saja aku mati tanpa kasih sayangmu! Aku pulang malam, karena kuselalu termenung meratapi Ayah yang terasa asing buatku! Malas rasanya aku pulang. Sekarang, bunuh sajalah aku!!”
Deg.. Deg.. Semua serasa berhenti. Waktu. Aliran darahku juga serasa beku. Ayah yang tadinya garang, kini tak lagi. Aku beranjak menuju Ibu, kupeluknya dengan erat. Kudekatkan suara batinku.
“Bu...” suara lirihku menyampaikan desah hatiku. Mungkin masih bisa terdengar, atau mungkin juga tak sampai ke telinga ibu. Lalu kulepaskan pelukan ibu, pergilah aku meninggalkan malam di hunian duniaku itu.
“Mau kemana?” bentakan ayah menghalangi langkah gontaiku.
“Tak usah pikirkan Zai, apalah artinya anakmu yang tak kau anggap ini!”
Seperti mimpi aku bisa berkata demikian. Seperti khayal aku bisa berucap itu pada Ayahku sendiri. Namun tak akan pernah kuasa kumenyimpannya rapat-rapat dalam hati. Biar sajalah aku merana. Merindukan kasih sayang seorang ayah yang tak bisa kuuraikan.
Dengan perasaan gelisahku, aku bergegas pergi tuk menenangkan hatiku. Handphone kumatikan, biar saja aku beradu dalam diri. Meiya pun tak kuberi kabar. Biar saja aku sendiri dalam pekat malam yang mengikat jerit nuraniku.
“Ayah, Zai sayang sekali pada Ayah!” suaraku tersengal-sengal dibarengi derai air mata yang membumi. Maafkanlah aku yang tak mampu menjadi bagian hidupmu dengan sempurna. Inilah aku, Yah. Aku anakmu, yang dititipkan Tuhan kepadamu. Kalaupun aku bukan titipanNya padamu, biarkan saja aku berlari dalam sendiriku. Aku tak akan pernah berharap sosok ayah yang lebih baik darimu. Karena bagiku, engkaulah yang terbaik di hatiku. Karenamu, aku bisa sebesar ini.

Sendiri tanpa serinai
Kelebat senja tak hadirkan, pengabulan atas rindu kasih
Mestika tanpa wahana
Cerita Tuhan belum menyata, bumi Ayahanda untuk daku
Bocah dalam prahara
Masih menunggunya mengawankan jiwa kering ini
Hadirlah...
(Zai : Rindu kasihmu, Ayah!)

(Kirimanku, di Harian Minggu Pagi) 
Minggu Pagi No. 31 TH 63 Minggu V Oktober 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Hai teman...
Berkomentarlah yang baik ya. Gunakan bahasa yang sopan, tak harus bahasa resmi pun tak apa. Yang penting, jangan menyinggung SARA dan SARU pastinya. hehe...
Terima kasih atas komentarnya!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Online Project management